CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 24 Februari 2013

Mahar Pertama Dari Ummu Sulaim


Ummu Sulaim adalah ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal keilmuannya dalam masalah agama. Selain itu, Ummu Sulaim adalah salah seorang wanita muslimah yang dikabarkan masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam dari kalangan Anshar yang telah teruji keimanannya dan konsistensinya di dalam Islam.

Kemarahan suaminya yang masih kafir tidak menjadikannya gentar dalam mempertahankan aqidahnya. Keteguhannya di atas kebenaran menghasilkan kepergian suaminya dari sisinya. Namun, kesendiriannya mempertahankan keimanan bersama seorang putranya justru berbuah kesabaran sehingga keduanya menjadi bahan pembicaraan orang yang takjub dan bangga dengan ketabahannya.

Kesabaran dan ketabahan Ummu Sulaim telah menyemikan perasaan cinta di hati Abu Thalhah yang saat itu masih kafir, belum memeluk agama Islam. Abu Thalhah memberanikan diri untuk melamar beliau dengan tawaran mahar yang tinggi.

Namun, Ummu Sulaim menyatakan ketidaktertarikannya terhadap gemerlapnya pesona dunia yang ditawarkan kehadapannya. Di dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih dan memiliki banyak jalan, terdapat pernyataan beliau bahwa ketika itu beliau berkata, “Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” (HR. An-Nasa’i VI/114, Al Ishabah VIII/243 dan Al-Hilyah II/59 dan 60).

Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islamnya Abu Thalhah.

Kisah ini menjadi pelajaran bahwa mahar sebagai pemberian yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan tidak selalu identik dengan uang, emas, atau segala sesuatu yang bersifat keduniaan. Namun, mahar bisa berupa apapun yang bernilai dan diridhai istri selama bukan perkara yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berdasarkan hadits dari Anas yang diriwayatkan oleh Tsabit bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Aku belum pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (Sunan Nasa’i VI/114).

(Diringkas dengan merujuk pada tulisan Ummu Ishaq, bersumber dari buku Wanita-wanita Teladan Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi)

Julaibib & Istrinya


Wanita yang benar-benar shalihah ibarat seseorang yang tahan memegang bara api yang panas …

Jika telah sampai suatu perintah syariat pada seorang wanita muslimah maka ia segera taat, terima, dan tunduk (walau itu berat untuk dijalankannya).  Dia tidak menyanggah, tidak membangkang, ataupun mencari alasan untuk tidak menerimanya.

Perhatikanlah cerita wanita mulia ini! Cerita tentang seorang pengantin wanita…

 

Adalah seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bernama Julaibib. Wajahnya sungguh tidak  menarik dan miskin pula. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menawarinya menikah. Dia berkata (tidak percaya), “Kalau begitu, Anda menganggapku tidak laku?”

Beliau bersabda, “Tetapi kamu di sisi Allah bukan tidak laku.”

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa terus mencari kesempatan untuk menikahkan Julaibib…

 

Hingga suatu hari, seorang laki-laki dari Anshar datang menawarkan putrinya yang janda kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau nikahi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Ya. Wahai fulan! Aku akan menikahkan putrimu.”

“Ya, dan sungguh itu suatu kenikmatan, wahai Rasulullah,” katanya riang.

Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya aku tidak menginginkannya untuk diriku…”

“Lalu, untuk siapa?” tanyanya.

Beliau menjawab, “Untuk Julaibib…”

Ia terperanjat, “Julaibib, wahai Rasulullah?!!  Tunggu dulu ya Rasulullah.. Biarkan aku meminta pendapat ibunya….”

 

Laki-laki itu pun pulang kepada istrinya seraya berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melamar putrimu.”

Dia menjawab, “Ya, dan itu suatu kenikmatan…”

“Menjadi istri Rasulullah!” tambahnya girang.

Dia berkata lagi, “Sesungguhnya beliau tidak menginginkannya untuk diri beliau.”

“Lalu, untuk siapa?” tanyanya.

“Beliau menginginkannya untuk Julaibib,” jawabnya.

Dia berkata, “Aku siap memberikan leherku untuk Julaibib… ! Tidak. Demi Allah! Aku tidak akan menikahkan putriku dengan Julaibib. Padahal, kita telah menolak lamaran si fulan dan si fulan…” katanya lagi.

 

Sang bapak pun sedih karena hal itu, dan ketika hendak beranjak menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk menyampaikan penolakannya), tiba-tiba putrinya (yang sejak tadi menguping) berteriak memanggil ayahnya dari kamarnya, “Siapa yang melamarkanku kepada kalian?”

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,” jawab keduanya.

Dia berkata, “Apakah kalian akan menolak perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”

“Bawa aku menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh, beliau tidak akan menyia-nyiakanku,” lanjut sang putri.

 

Sang bapak pun pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terserah Anda. Nikahkanlah dia dengan Julaibib.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menikahkannya dengan Julaibib, serta mendoakannya,

“Ya Allah! Limpahkan kepada keduanya kebaikan, dan jangan jadikan kehidupan mereka susah.”

 

Tidak selang beberapa hari pernikahannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar untuk berangkat dalam peperangan (jihad fisabilillah), dan Julaibib ikut serta bersama beliau. Setelah peperangan usai, dan para shahabat mulai saling mencari satu sama lain diantara mayat-mayat yang bergelimpangan.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka, “Apakah kalian kehilangan seseorang?” Mereka menjawab, “Kami kehilangan fulan dan fulan…”

Kemudian beliau bertanya lagi, “Apakah kalian kehilangan seseorang?” Mereka menjawab, “Kami kehilangan si fulan dan si fulan…”

Kemudian beliau bertanya lagi, “Apakah kalian kehilangan seseorang?” Mereka menjawab, “Kami kehilangan fulan dan fulan…”

Setelah semuanya selesai mencari, Rasulullah bersabda, “Aku kehilangan Julaibib…”

 

Mereka pun ramai-ramai mencari dan memeriksanya di antara orang-orang yang terbunuh. Tetapi mereka tidak menemukannya di arena pertempuran. Terakhir, mereka menemukannya di sebuah tempat terpisah yang tidak begitu jauh dari lokasi pertempuran.  Mayat Julaibib ditemukan diantara tujuh mayat orang-orang musyrik. Dia telah membunuh mereka, kemudian akhirnya ia terbunuh juga.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri memandangi mayatnya, lalu berkata,”Dia membunuh tujuh orang lalu mereka membunuhnya. Dia membunuh tujuh orang lalu mereka membunuhnya. Dia dari golonganku dan aku dari golongannya.”

 

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membopongnya di atas kedua lengannya dan memerintahkan mereka agar menggali tanah untuk menguburnya.

 

Anas radhiallahu ‘anhu bertutur kisah tentang peristiwa itu, “Selama kami menggali kubur, tubuh Julaibib radhiallahu ‘anhu tidak memiliki alas kecuali kedua lengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga ia digalikan dan diletakkan di liang lahatnya.”

 

Anas radhiallahu ‘anhu berkata kemudian, “Demi Allah! Tidak ada di tengah-tengah orang Anshar yang lebih banyak berinfak daripada janda Julaibib (setelah wafatnya Julaibib, jandanya menerima begitu banyak pampasan perang sebagai hadiah penghargaan, red).  Kemudian, para tokoh pun berlomba melamar janda Julaibib …”

 

Sungguh ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wata’ala,

“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itu adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (An-Nur: 52).

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda, sebagaimana dalam ash-Shahih, “Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.”  Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan itu?”  Beliau bersabda, “Barangsiapa taat kepadaku, maka ia masuk surga, dan barangsiapa mendurhakaiku berarti ia telah enggan.”

 

Ummul Mukminin Zainab Al Jahsy Radiallahu anha

"Zainab binti Jahsy sering membanggakan kedudukanku di sisi Rasulullah. Padahal aku tidak pernah melihat seorang wanita yang lebih baik agamanya selain Zainab. Dia juga lebih bertakwa kepada Allah, lebih jujur perkataannya, paling banyak menyambung hubungan kekeluargaan, paling banyak sedekahnya dan paling banyak berkorban untuk hal-hal yang mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Taala.” [Saidatina Aishah radhiallahu anha]

Ummul Mukminin yang mulia ini menghimpun segala sisi keutamaan, kebajikan dan kemurahan hati yang menjadi kebanggaan bagi beliau melebihi isteri Rasulullah lainnya. Anak kepada bapa saudara beliau adalah hamba Allah paling mulia, iaitu Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam. Datuknya dan datuk Rasulullah adalah satu. Bapa saudaranya adalah pemimpin para syuhada’, asaduLlah (Singa Allah), dan penunggang kuda RasulullahSallallahu Alaihi wa Sallam, iaitu Hamzah bin Abdul Muthalib. Saudaranya adalah pembawa bendera Islam yang pertama kali dikibarkan dan orang yang  pertama digelar dengan sebutan Amirul Mukminin, juga salah seorang syuhada’, iaitu Abdullah bin Jahsy radiallahu anhu.

Saudaranya yang lain merupakan salah seorang penyair Islam, iaitu Abu Ahmad bin Jahsy. Saudarinya termasuk salah seorang wanita yang terdahulu memeluk Islam, iaitu Humnah binti Jahsy. Sedang ibunya, merupakan ibu saudara Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam yang diberi makanan oleh baginda sebanyak empat puluh wasaq, berupa kurma dari Khaibar, iaitu Umaimah binti Abdul Muthalib.

Zainab binti Jahsy radiallahu anha adalah satu-satunya wanita yang dinikahkan oleh Allah Subhanahu wa Taala dari atas langit ketujuh, manakala malaikat Jibril menjadi dutanya. Beliau dikenali sebagai wanita yang diberkati kerana lebih dahulu masuk Islam, ikut berhijrah dan berjihad, selain terkenal atas kesabaran dan kezuhudannya. Beliau dilahirkan tiga puluh tahun sebelum kerasulan, iaitu pada 590 Masihi di Makkah. Nama asalnya adalah Barrah (wanita yang baik). Hanya ketika Rasulullah menikahinya, baginda menamakannya Zainab. Beliau membesar di tengah-tengah Bani Asad dengan kemuliaan, kecantikan dan kedudukan yang terpandang lantaran keturunannya yang mulia.

Di saat Islam mulai berhembus menebarkan keharumannya di Ummul Qura, maka insan-insan yang memiliki akal dan hati yang bersih menerima risalah tersebut dan terbebas dari segala noda Jahiliyyah. Abdullah bin Jahsy termasuk di kalangan mereka yang mendengar dakwah ilal haq ini sehingga beliau langsung mengumumkan keislamannya. Beliau mengimani apa yang disampaikan oleh kerabatnya, baginda Rasulullah Sallallahu alaihi wa Sallam, sehingga diikuti pula oleh keluarganya yang lain termasuk Zainab radiallahu anha. Sebelumnya, wanita mulia ini telah memiliki jiwa yang bersih, terhindar dari segala keburukan dan tradisi Jahiliyyah yang diliputi kegelapan. Setelah menerima risalah Islam, beliau menghadap kepada Allah dengan hatinya yang bersih, memurnikan keislamannya dengan keikhlasan yang menjadikannya tampil ke hadapan sebagai penghulu para wanita di dalam hal wara’, ketaqwaan, kemakrufan, kemurahan hati dan kebajikan.

Saksi Syariat Dari Atas Langit Ketujuh

Setelah datangnya Islam, di antara tujuannya ialah untuk menghilangkan perbezaan di antara manusia. Menghapuskan kebanggaan dan kelebihan yang didasarkan kepada fanatisme dan kebutaan jahiliyah. Hanya takwa yang menjadi timbangan dan tolok ukur darjat manusia di sisi Allah. Firman Allah Subhanahu wa Taala:”
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian” [TMQ Al-Hujurat:13]

Mulialah Zainab binti Jahsy yang menjadi pilihan Allah dan RasulNya demi memberi petunjuk kepada sekalian umat Muhammad. Lamaran Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam kepadanya buat maula (bekas hamba) baginda, Zaid bin Haritsah menjadi sebuah kesempitan kepada wanita ini. Fikirannya terkeliru dengan pelbagai persoalan yang datang satu persatu.. Bagaimana mungkin dia harus menerima pernikahan yang tidak seimbang ini? Bagaimana mungkin dia harus melangsungkan pernikahan dengan salah seorang maula padahal dia seorang wanita terhormat serta memiliki keturunan yang sangat mulia?. Lantas, beliau bersuara, ”Wahai Rasulullah, aku tidak meredhainya bagiku, kerana aku seorang wanita Quraisy yang belum bernikah”. Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ”Tetapi aku meredhainya bagimu”. Atas peristiwa ini, turunlah wahyu dari langit:
”Dan tidaklah patut bagi lelaki yang mukmin dan wanita yang mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan, barangsiapa menderhakai Allah dan RasulNya, maka sungguhlah dia telah sesat, dengan sesat yang nyata” [TQS Al-Ahzab:36]

Ketaqwaan dan keimanan yang teguh meleburkan perbezaan darjat antara manusia. Atas dasar itu, Zainab tidak mempunyai alasan untuk menyalahi perintah Allah dan RasulNya. Namun, kehidupan suami isteri di antara keduanya hanya berlangsung dalam tempoh setahun. Kemudiannya, muncul perselisihan di antara keduanya, khususnya setelah Islam menghapuskan anak angkat melalui Firman Allah:
”Panggillah anak-anak angkat itu dengan ber"bin"kan kepada bapa-bapa mereka sendiri; cara itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dalam pada itu, jika kamu tidak mengetahui bapa-bapa mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara kamu yang seagama dan sebagai "maula-maula" kamu dan kamu pula tidak dikira berdosa dalam perkara yang kamu tersilap melakukannya, tetapi (yang dikira berdosa itu ialah perbuatan) yang disengajakan oleh hati kamu melakukannya dan (ingatlah) Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani” [TMQ Al Ahzab:5]. (Sebelumnya, Zaid merupakan anak angkat Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam).

Hubungan yang semakin tidak harmonis menghantarkan kepada pertemuan antara Zaid dengan Rasulullah untuk mengadu permasalahan rumahtangganya. Berkali-kali Zaid meminta persetujuan baginda untuk menceraikan Zainab, tetapi dijawab oleh baginda dengan sabdanya, ”Tahanlah isterimu dan bertaqwalah kepada Allah!”. Pada saat yang sama, Rasulullah Sallallahu alaihi wa Sallam sebenarnya menyedari bahawa perceraian tersebut pasti akan terjadi dan Allah akan memerintahkan baginda untuk menikahi Zainab dalam rangka untuk menghapuskan bid’ah anak angkat. Perkhabaran tersebut telah disampaikan melalui Jibril, bahawa Zainab akan menjadi isteri baginda dan AllahSubhanahu wa Taala akan menggugurkan pernikahan Zainab dan Zaid. Hal ini menimbulkan keresahan di hati bagindaSallallahu Alaihi wa Sallam sebagai manusia biasa yang pasti akan berhadapan dengan celaan masyarakat jahiliyyah ketika itu lantaran baginda akan menikahi bekas isteri kepada ’anak’ baginda.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui hikmah di sebalik segala yang terjadi. TujuanNya tidak lain untuk menghapus segala tradisi anak angkat dan hukum-hukum jahiliyyah yang berakar di dalam masyarakat ketika itu. Teguran AllahSubhanahu wa Taala kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam berkaitan hal ini terkandung di dalam ayat 37 surah Al-Ahzab:
“Dan (ingatlah wahai Muhammad) ketika engkau berkata kepada orang yang telah dikurniakan oleh Allah (dengan nikmat Islam) dan yang engkau juga telah berbuat baik kepadanya: Jangan ceraikan isterimu itu dan bertakwalah kepada Allah, sambil engkau menyembunyikan dalam hatimu perkara yang Allah akan menyatakannya; dan engkau pula takut kepada (cacian) manusia padahal Allah jualah yang berhak engkau takuti (melanggar perintahNya). Kemudian setelah Zaid selesai habis kemahuannya terhadap isterinya (dengan menceraikannya), Kami kahwinkan engkau dengannya supaya tidak ada keberatan atas orang-orang yang beriman untuk berkahwin dengan isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah selesai habis kemahuannya terhadap isterinya (lalu menceraikannya) dan sememangnya perkara yang dikehendaki Allah itu tetap berlaku.” [TMQ Al-Ahzab: 37]

Begitulah perintah dari Allah, lalu Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam melaksanakan perintah tersebut tanpa sedikit pun keberatan di dalam hati baginda. Zainab binti Jahsy memperolehi kemuliaan yang besar dari Allah Subhanahu wa Taala kerana menjadikannya salah seorang Ummahatul Mukminin. Tatkala tamat tempoh iddah Zainab, Rasulullah mengutuskan Zaid untuk melamarnya bagi diri baginda. Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, ” Setelah Zainab diberitahu bahawa Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam ingin menikahi beliau, maka dia pun bersujud”[Tahdzibul-asma’ wal-lughat, 2/345]

Seperti yang diduga, pernikahan tersebut telah mencetuskan kekecohan di kalangan orang-orang munafik dan kaum kafir, “Bagaimana mungkin Muhammad melarang menikahi bekas isteri anak, namun dia sendiri menikahi bekas isteri anaknya, Zaid?”. Perkara ini kemudian disanggah oleh Allah Subhanahu wa Taala melalui firmanNya:
“Tidaklah ada sebarang keberatan yang ditanggung oleh Nabi dalam melaksanakan perkara yang telah ditetapkan Allah baginya. (Yang demikian itu) adalah menurut peraturan Allah yang tetap, yang berlaku juga kepada Nabi-nabi yang telah lalu. Dan (ingatlah) perintah Allah itu adalah satu ketetapan yang ditentukan berlakunya. Nabi-nabi yang telah lalu itu ialah orang-orang yang menyampaikan syariat Allah serta mereka takut melanggar perintahNya dan mereka pula tidak takut kepada sesiapa pun melainkan kepada Allah dan cukuplah Allah menjadi Penghitung (segala yang dilakukan oleh makhluk-makhlukNya untuk membalas mereka).” [TMQ Al-ahzab: 38-39]

Allah Subhanahu wa Taala juga menjelaskan kedudukan tentang anak angkat dan hak-hak yang menyertainya, serta melestarikan (keturunan) keluarga berdasarkan asas yang pasti dan jelas, mengembalikan hubungan nasab ke hubungan darah dan ayah, serta menolak untuk menjadikan anak angkat setaraf dengan anak kandung.
”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapa dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [TMQ Al-ahzab: 40]

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”[TMQ Al-ahzab:4]

Di antara rahmat pernikahan Zainab ini juga ialah turunnya ayat berkenaan hijab. Hal ini terjadi pada hari walimahnya dengan Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam. Ketika baginda  menikahinya, maka dilaksanakan majlis jamuan yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Ayat hijab ini diturunkan sebagai pengajaran dan petunjuk bagi manusia agar mereka tidak masuk ke rumah Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam tanpa izin dan jika diundang untuk menikmati jamuan, mereka boleh memasukinya. Setelah itu, hendaklah mereka pergi tanpa berlama-lamaan di situ dan berbincang-bincang. Selain itu, turunnya ayat berkenaan hijab ini merupakan permulaan kepada kewajiban hijab terhadapUmmahatul mukminin sekaligus barakah agar menjadi petunjuk kemuliaan, kesucian dan kebersihan mereka.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuk ke rumah Nabi (menunggu makanan masak kerana hendak makan bersama), kecuali kamu dijemput untuk menghadiri jamuan, bukan dengan menunggu-nunggu masa sajiannya; tetapi apabila kamu dijemput maka masuklah (pada waktu yang ditetapkan); kemudian setelah kamu makan maka hendaklah masing-masing bersurai dan janganlah duduk bersenang-senang dengan berbual-bual. Sesungguhnya yang demikian itu menyakiti dan menyusahkan Nabi sehingga dia merasa malu (hendak menyatakan hal itu) kepada kamu, sedang Allah tidak malu daripada menyatakan kebenaran dan apabila kamu meminta sesuatu yang perlu diminta dari isteri-isteri Nabi maka mintalah kepada mereka dari sebalik tabir. Cara yang demikian lebih suci bagi hati kamu dan hati mereka dan kamu tidak boleh sama sekali menyakiti Rasul Allah dan tidak boleh berkahwin dengan isteri-isterinya sesudah dia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya segala yang tersebut itu adalah amat besar dosanya di sisi Allah” [TMQ al Ahzab:53]

Keagungan Peribadi

Di antara kelebihan Zainab binti Jahsy ialah kesaksian Rasulullah baginya, yang berupa kekhusyukan. Kesaksian baginda inilah yang mengangkat kedudukan Zainab sehingga ke tingkatan yang tertinggi di dalam ibadah.Rasulullah Sallahu Alaihi wa Sallam sendiri pernah menuturkan,
“Sesungguhnya Zainab binti Jahsy adalah wanita yang khusyuk lagi merendah diri”.

Abu Nu’aim Al-Asybahany memulai biografi sahabiyyah ini di dalam Al-Hilyah dengan menuturkan,
“Dia adalah seorang wanita yang khusyuk, redha, kembali kepada Allah, lemah lembut dan banyak sekali berdoa” [Tahdzibul-Asma’ wal lughat, 2/344]

Inilah yang menjadikan Zainab binti Jahsy menyedari kelebihan beliau di sisi Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau suka mengucapkannya kepada Rasulullah seperti berikut:
“Sesungguhnya aku benar-benar akan menunjukkan kepadamu tiga perkara yang tidak seorang pun di antara isterimu yang memilikinya; sesungguhnya datukmu dan datukku adalah satu, aku dinikahkan Allah denganmu dari langit ketujuh dan sesungguhnya dutanya adalah Jibril” [Al-Bidayah wan-nihayah, 4/146; Ansabul Asyraf, 1/435]

Hal ini turut diakui oleh Ummahatul Mukminin, Aisyah radiallahu anha yang memberi kesaksian bersifat khusus kepada sahabiyyah ini bagi menggambarkan kebenaran dan kekaguman beliau,
“Semoga Allah merahmati Zainab binti Jahsy. Dia telah mendapat kemuliaan di dunia ini, yang tidak disaingi oleh kemuliaan orang lain. Sesungguhnya Allah menikahkannya dengan NabiNya di dunia dan menurunkannya di dalam Al-Quran”

“Zainab binti Jahsy sering membanggakan kedudukanku di sisi Rasulullah. Padahal aku tidak pernah melihat seorang wanita yang lebih baik agamanya selain Zainab. Dia juga lebih bertakwa kepada Allah, lebih jujur perkataannya, paling banyak menyambung hubungan kekeluargaan, paling banyak sedekahnya dan paling banyak berkorban untuk hal-hal yang mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Taala.”

Zainab jugalah yang mempertahankan kesucian Aisyah radiallahu anha ketika terjadinya mehnah hebat berupa fitnah kaum munafik yang menimpa ummahatul mukminin. Al-Bukhari meriwayatkan kesaksian kebaikan ini di dalam salah sebuah hadis Aisyah yang panjang tentang kes fitnah tersebut. Sebahagian perkataan Aisyah dinukilkan sebagai berikut,
“Rasulullah Sallahu alaihi wa Sallam bertanya kepada Zainab binti Jahsy tentang urusanku. Baginda bertanya,’Wahai Zainab, apa yang engkau ketahui atau apa pendapatmu berkaitan Aisyah’. Beliau menjawab, ’Wahai Rasulullah, aku memelihara pendengaran dan penglihatanku. Aku tidak mengetahui kecuali yang baik”

Di dalam kisah lain, Aisyah turut berkata,
“Dialah yang membanggakan aku dari kalangan para isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam, lalu Allah memeliharanya dengan wara’. Saudarinya, Humnah binti Jahsy juga turut melakukan serangan ke atas peribadi Aisyah, sehingga akhirnya dia binasa bersama-sama orang yang terlibat dalam berita bohong itu”

Semoga Allah Subhanahu wa Taala meredhai Ummul Mukminin, Zainab binti Jahsy yang membenci fitnah. Beliau sentiasa memohon kepada Allah agar dirinya dijauhkan dari orang-orang yang dengki dan suka berbuat kerosakan. Beliau tidak mengatakan sesuatu kecuali kebaikan dan tidak memberi kesaksian kecuali secara benar, baik dan adil.

Ummul Mukminin, Ummu Salamah radiallahu anha turut tidak ketinggalan memberikan pujian ke atas sahabiyah ini. Beliau memuji ketakwaan dan ibadahnya dengan berkata,
“Dia adalah wanita yang solehah, banyak berpuasa dan solat malam

Al-Imam Adz-Zahaby rahimahullah menukilkan pandangan beliau berkaitan peribadi Zainab binti Jahsy di dalam Tarikhul Islam dengan ungkapan pujian,
“Dia banyak beribadah, banyak kebajikan dan sedekahnya”.

Beliau juga termasuk salah seorang perawi hadits, yang meriwayatkan dari Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallamsebelas buah hadits, sebahagian darinya telah ditakhrij di dalam Ash-Shahihain, dua buah hadith disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Hadith beliau disebut di dalam kutubus-sittah (Adz-Zahaby r.a)

Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy bukanlah orang yang suka mengumpulkan harta dan kesenangan dari perbendaharaan dunia. Beliau biasa melakukan sendiri pekerjaannya seperti menyamak kulit dan menjahit lalu menjualkan hasil kerjanya untuk disedekahkan ke jalan Allah. Kemuliaan beliau di sisi Allah adalah lantaran kezuhudan pada kehidupan dunia. Barzah binti Rafi’ pernah menceritakan perihal peribadi Zainab radiallahu anha ini. Ketika Umar Al-Khattab mengirim utusan untuk memberikan bahagian harta yang menjadi milik Zainab, beliau lantas berkata,
“Semoga Allah mengampuni Umar. Saudari-saudariku yang lain lebih memerlukan bahagian ini berbanding diriku”. 

Beliau segera membahagi-bahagikan harta tersebut kepada beberapa orang kerabat yang miskin dan anak-anak yatim kaum Muslimin. Sehinggalah yang tersisa di tangannya hanya lapan puluh dirham. Lalu, beliau menadahkan tangannya ke langit dan berdoa,
“Ya Allah, semoga aku tidak lagi menerima pemberian Umar setelah tahun ini”.

Maka, doanya dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Taala. Beliau meninggal dunia pada tahun itu juga.

Perginya Seorang Serikandi

Pada tahun 20 Hijrah bersamaan 641 Masihi, Zainab Ummul Mukminin mula merasakan dekatnya ajal beliau, dan dia sentiasa menyiapkan diri untuk pertemuan tersebut. Maka ketika ajalnya menghampiri, beliau berkata
 “Aku sudah menyiapkan kain kafanku, dan boleh jadi Umar akan mengirimkan kain kafan kepadaku. Jika dia mengirimkan kain kafan, maka sedekahkanlah salah satu di antaranya. Jika kalian mampu menjulurkan kain kafan hingga menutupi jasadku, lalu kalian menyedekahkan kain selimutku, maka lakukanlah” (Thabaqat Ibn Sa’ad, 8/109)

Zuhud di dunia dan dalam kesenangannya, sedekah dan kebajikan masih tetap mengalir pada saat-saat sakaratul maut mengintai dirinya. Benarlah gelaran buatnya sebagai Ummul masakin (ibu kepada orang-orang miskin). Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy radhiallahu Anha menjalani kehidupan jauh dari kemewahan dunia. Beliau lebih mengutamakan kehidupan akhiratnya, lantas menjadikan kehidupan dunia sebagai ladang untuk bercucuk tanam. Beliau sangat menyedari bahawa dunia ini tidak akan menyamai satu sayap lalat pun di sisi Allah kelak.

Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy telah mendapatkan khabar gembira sebagai penghuni syurga dari RasulullahSallallahu Alaihi wa Sallam, kerana beliaulah isteri yang pertama yang menyongsong kewafatan baginda. Hal ini turut diungkapkan oleh Saidatina Aisyah radhiallahu anha, sebagai berkata,

“Semoga Allah merahmati Zainab binti Jahsy, kerana dia telah menerima kemuliaan di dunia ini, yang tidak dapat ditandingi oleh kemuliaan lainnya. Allah Subhanahu wa Taala menikahkannya dengan NabiNya di dunia dan menurunkan Al-Quran tentang hal tersebut. Sesungguhnya Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada kami (para isteri Rasul) ketika kami berada di sekeliling baginda, ”Orang yang lebih dahulu bersua denganku (di syurga) ialah orang yang paling panjang lengannya (paling banyak bersedekah) di antara kalian”. Sesungguhnya dialah Zainab binti Jahsy, Ummul masakin.

Wallahu a’lam.

Summayah Bintu Khubath Radiallahu anha

"Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, kerana tempat yang dijanjikan bagi kalian ialah syurga”.

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam mendoakan keluarga Yasir, “Ya Allah, janganlah Engkau seksa seorang pun dari keluarga Yasir dengan api neraka”.

Keluarga yang agung dan mulia ini menghimpunkan segala sisi keutamaan. Keutamaan-keutamaan ini semerbak harum menebarkan aroma kemuliaan dan ia tersebar dari generasi terawal memeluk Islam sehinggalah ke generasi akhir zaman.

Pemimpin keluarga ini, Yasir bin Amir bin Malik berasal dari Yaman. Beliau datang ke Mekah bersama-sama Al-Harits dan Malik dalam rangka menjejaki saudaranya. Mereka berdua kembali ke Yaman, sebaliknya Yassir terus menetap di Mekah. Beliau kemudiannya menjalin persahabatan dengan Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah bin Abdullah Al-Makhzumy, yang kemudiannya menikahkannya dengan seorang hamba wanita, Sumayyah bintu Khubath, lalu melahirkan seorang anak lelaki, bernama Ammar. Abu Hudzaifah kemudiannya memerdekakan Sumayyah manakala Yasir dan Ammar tetap bersama-sama dengan Abu Hudzaifah sehingga meninggal dunia.

Sumayyah bintu Khubath, nama yang tidak pernah dikenali di seluruh pelosok Mekah sebelum Islam hadir memancarkan sinarnya di Ummul Qura. Beliau seorang wanita yang bersosok besar, usianya telah memasuki usia senja. Namun, beliau memiliki akal yang jernih, dan jiwanya memancarkan keikhlasan, bara dan semangat!. Tidak berapa lama selepas Rasulullah memulakan dakwah baginda, keluarga Yasir muncul sebagai di antara manusia terawal mengimani risalah Islam dan membenarkan kerasulan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam. Keimanannya yang mendalam terhadap Allah menjadikan dirinya sebagai pelopor wanita-wanita yang sabar dan tegar mempertahankan akidah. Bahkan beliaulah adalah orang ketujuh yang masuk Islam dan di antara orang terawal yang menampakkan keislamannya. Hal ini disebutkan oleh Al-Imam Adz-Dzahaby Rahimahullah di dalam bukunya, Siyar A’lamin-Nubala’ menerusi riwayat Abdullah bin Mas’ud Radiallahu Anhu,
 “ Yang pertama sekali menampakkan keIslaman mereka secara terang-terangan ada tujuh orang; Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, Abu Bakar, Ammar, ibunya Sumayyah, Shuhaib, Bilal dan Al-Miqdad. Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam mendapat perlindungan dari bapa saudarany (Abu Talib). Abu Bakar mendapat perlindungan kaumnya. Yang lain-lain pula mengalami penyeksaan yang keras dari orang-orang musyrik, dikenakan baju besi lalu ditelantarkan di bawah terik matahari. Tidak seorang pun dari mereka kecuali harus memenuhi apa yang mereka inginkan, kecuali Bilal. Dia tidak peduli apa yang menimpa dirinya kerana Allah. Dia juga tidak peduli kepada kaumnya. Ketika dia diseksa, kanak-kanak kecil ikut sama mengerumuninya, dan dia hanya mampu mengucapkan, ‘Ahad, ahad, ahad”.

Keluarga Sumayyah turut sama berada di barisan hadapan. Kemarahan kaum Quraisy benar-benar memuncak. Hampir setiap nafas mereka adalah hembusan kebencian kepada orang-orang yang mengucapkan “Rabb kami adalah Allah”. Penyeksaan-penyeksaan tidak pernah menjadikan kaum Muslimin berundur, malah mereka tetap istiqamah dan terus mengikuti Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam.

Sementara itu, baginda hanya mampu meniupkan kata-kata semangat dan motivasi keimanan kepada keluarga Sumayyah kerana tiada seorangpun yang mampu memberikan jaminan kepada keluarga tersebut. Keluarga itu menerima pelbagai jenis penyeksaan dari orang-orang musyrik yang terbakar oleh api dendam dan kebencian terhadap dakwah Islam. Mereka memuaskan keinginan yang gila dengan menyeksa Sumayyah dan keluarganya.  Ibnu AtsirRahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya, Usdul Ghabah, tentang seksaan yang dialami oleh Sumayyah dengan berkata, “Dia termasuk orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam dan dia juga termasuk di kalangan orang-orang yang mendapat seksaan yang keras kerana Allah”.

KELUARGA YANG SABAR

Tiada yang mampu dilakukan manusia kecuali terkagum terhadap keluarga Yasir, sebuah keluarga yang mulia, yang diberi kemudahan, dan yang mampu menggegarkan para pemimpin kaum musyrikin Mekah. Mereka yang sebelumnya dikenali sebagai orang-orang yang lemah lembut, tidak lagi mempunyai sifat itu tatkala berhadapan dengan kaum kafir yang cuba mengoyakkan keimanan mereka. Bahkan kaum musyrikin hampir hilang akal kerana rasa marah ketika melihat keluarga ini semakin tenang dan mantap, tidak gerun terhadap seksaan, tidak beranjak sedikit pun dari akidah mereka, malah tidak surut kesabaran mereka ketika dijemur di bawah terik matahari dalam keadaan kehausan. Ketegaran keluarga ini membuatkan kaum musyrikin kehairanan, bingung dan semakin berang. Mereka mengheret Ammar bersama kedua ibubapanya ke tengah-tengah padang pasir yang panas sepanasnya, agar mereka keluar dari Islam. Ironinya, keluarga sabar ini sentiasa bertambah keimanan mereka seiring dengan semakin pedihnya seksaan. Mereka semakin pasrah, terutamanya setelah mereka mendengarkan doa memohon pengampunan bagi diri mereka oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam.

Salim Abul-Ja’d meriwayatkan, beliau berkata, “Utsman memanggil beberapa sahabat Rasulullah, di antaranya terdapat Ammar bin Yasir. Ustman berkata, ‘Aku akan menyampaikan kepada kalian hadis tentang Ammar. Aku bersama Rasulullah pergi ke Al-Bathha’ sehingga kami menemui Ammar berserta ibubapanya ketika kaum musyrikin menyeksa mereka. Yasir berkata kepada Rasulullah, “Apakah selamanya aku akan begini?”. Baginda bersabda, “Bersabarlah!”. Kemudian baginda bersabda, “Ya Allah, berilah ampunan kepada keluarga Yasir, kerana Engkau telah berbuat apa yang Engkau Perbuat” . [Ditakhrij oleh Ahmad]

PENENTANGAN SUMAYYAH

Kaum musyrikin Quraisy hampir tidak pernah menghentikan seksaan terhadap Sumayyah dan keluarganya. Selepas suaminya meninggal dunia akibat penyeksaan, Sumayyah semakin menentang dan memberikan reaksi keras terhadap Bani Al-Mughirah bin Abdullah bin Makhzum, yang dipelopori oleh Abu Jahal. Dia layaknya orang yang tidak waras dan tidak berperasaan ketika berhadapan dengan  ketegaran Sumayyah mempertahankan akidahnya. Baginya, kedegilan Sumayyah ialah perlecehan terhadap dirinya. Sumayyah telah berjaya mencarik-carik kebesaran nama Abu Jahal di kalangan kaum musyrikin kerana kesabarannya terhadap kerasnya seksaan. Hati Abu Jahal hampir saja meledak kerana Sumayyah tidak mahu memperolok-olokkan dan mengeji nama Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, walau dengan hanya satu kata seperti yang dipaksakan Abu Jahal kepadanya.

Abu Jahal (semoga Allah menghinakannya), tidak membiarkan satu pun sarana untuk menghalangi manusia dari jalan Allah, melainkan dia akan menggunakannya. Dia tidak mendapatkan satu jalan pun untuk menekan orang-orang Mukmin, melainkan dia akan melaluinya. Ibnu Ishaq Rahimahullah, menyampaikan satu gambaran yang jelas tentang hal ini, dengan berkata,
“ Abu Jahal, orang jahat yang terperdaya di tengah-tengah kaum Quraisy, jika mendengar berita seseorang masuk Islam, dan orang itu adalah orang yang terpandang dan mendapat jaminan perlindungan,maka dia hanya akan mengingatkannya dan menegurnya dengan berkata, ‘Kau tinggalkan agama bapamu, padahal bapa-bapamu adalah lebih baik darimu. Kami benar-benar akan mengalahkan pendapatmu dan benar-benar akan menghinakan kehormatanmu.’Jika yang dihadapinya adalah seorang pedagang, maka dia akan berkata 'Demi Tuhan, kami benar-benar akan membuatkan kamu rugi dalam perniagaanmu, dan kami benar-benar akan menghancurkan harta bendamu'. Jika yang dihadapinya adalah orang yang lemah, maka dia akan memukul dan menyeksanya semahu-mahunya. Semoga Allah melaknat dan memburukkannya”

SYAHIDAH PERTAMA

Sumayyah Radiallahu Anha adalah wanita pertama yang menampakkan keIslamannya, di samping menjadi syahid pertama yang mengorbankan dirinya di jalan Allah. Dalam peristiwa kesyahidannya itu, terkandung pelajaran-pelajaran berharga bagi sesiapa yang memiliki hati atau mempunyai pendengaran. Beliau menjadi sosok syahid yang sebenarnya dan mempamerkan hakikat sabar kepada para generasi seterusnya.

Setelah suaminya, Yasir meninggal dunia kerana penyeksaan yang sangat berat, Sumayyah Radiallahu Anhadiserahkan pula oleh Abu Hudzaifah kepada Abu Jahal, sehingga si jahat itu dapat menyeksa dengan segala cara yang diinginkannya disamping mengejek-ejek diri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dengan sejuta sumpah seranah dan umpat keji. Suatu petang, Abu Jahal bersikap keras kepada Sumyyah, kemudian berkata kepadanya, “Engkau tidak beriman kepada Muhammad melainkan kerana engkau tergila-gila kepada ketampanannya”.

Apa pula reaksi Sumayyah? Beliau memberikan jawapan yang tidak kalah kerasnya, lantaran kemarahannya yang tidak tertahan dengan tuduhan Abu Jahal itu. Keangkuhan Abu Jahal terbukti apabila beliau menikamkan tombak ke tubuh Sumayyah sehingga menyebabkan Sumayyah meninggal dunia sebagai syahid, rohnya naik kepada Penciptanya dalam keadaan redha dan diredhai, kerana telah memberikan kesaksian tidak berbelahbagi bahawa tiada Ilah selain Allah, dan bahawa Nabi Muhammad adalah Rasul Allah.

Mujahid Rahimahullah berkata, “Syahid yang pertama di dalam Islam ialah ibu Ammar, Sumayyah yang ditikam Abu Jahal dengan menggunakan tombak, tepat di ulu hatinya” .(Al-Bidayah Wan-Nihayah, 3/59)

Ibnul Jauzy Rahimahullah berkata,” Dia adalah syahid pertama di dalam Islam. Semoga Allah redha kepadanya sebagaimana Allah membuatkannya redha”.

IBNU SUMAYYAH

Sumayyah, nama ini dan sahabiyah ini tetap hidup abadi menebarkan keharuman setelah mati syahid dan beruntung telah meraih keredhaan Allah. Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam terbiasa memanggil anaknya Ammar, dengan sebutan “Ibnu Sumayyah”. Maka, tidak dapat lagi dimungkiri bahawa panggilan yang diberkahi ini merupakan penghormatan terhadap sahabiyah yang sabar dan baik ini. Panggilan itulah yang lebih sering meluncur dari lisan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang mulia.

Abdullah bin Mas’ud Radiallahu Anhu pernah berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ‘Jika manusia saling berselisih, maka Ibnu Sumayyah berada pada kebenaran”. (Kisah ini disebutkan di dalam Siyar A’lamin-Nubala, 1/415-416; Tarikhul Islam, Adz-Zahaby, 3/575)

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam juga sering menyebutkan nama Sumayyah dengan keutamaan dan kebaikan. Sewaktu Perang Badar, baginda menyampaikan khabar gembira bagi“orang baik yang mendapat kebaikan”. (Julukan untuk Ammar, kerana Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda kepadanya, ‘Selamat datang wahai orang baik yang mendapat kebaikan’). Di dalamnya disebutkan juga nama Sumayyah. Peristiwa ini dikisahkan ketika musuh Allah, Abu Jahal terbunuh di dalam Perang Badar. Ketika itu Rasulullah menggembirakan Ammar dengan berkata “Allah telah membunuh orang yang membunuh ibumu”.

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam juga pernah mendoakan untuk Sumayyah dan keluarganya dengan doa yang diberkahi ketika Ammar mendatangi Rasulullah mengadu seksaan yang dihadapi oleh ibubapanya termasuk dirinya sendiri. Beliau berkata, “Wahai Rasulullah, kami mendapatkan seksaan yang sangat keras”. Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Bersabarlah wahai Abul Yaqzhan (julukan lain bagi Ammar). Ya Allah, janganlah Engkau seksa seorang pun dari keluarga Yasir dengan api neraka” (Al-Isti’ab, 4/325; As-Sirah Al-Halabiyah, 1/484)

NISA’ MUBASSYARAT BIL JANNAH!

Inilah kisah sahabiyah yang sabar, yang disajikan sirahnya sebagai wanita yang teguh hati pada kebenaran dan keimanan, sehingga menjadi pelopor di dalam perjuangan Islam sepanjang zaman. Ibnu Abdil-Barr Rahimahullahmemuji Sumayyah dengan berkata, “Dia termasuklah orang yang diseksa kerana Allah, dan sabar di dalam menghadapi seksaan. Dia termasuklah wanita yang berbaiat, baik dan terutama” (Al-Isti’ab, 4/324)

Semoga Allah merahmati Sumayyah ibu Ammar, wanita dan orang pertama yang mati syahid di dalam Islam, ibu orang yang pertama membangun masjid dan digunakan untuk solat. Kesejahteraan bagi keluarga Yasir, kesejahteraan ke atas kalian kerana kesabaran kalian dan sesungguhnya kalian akan mendapat balasan yang sebaik-baiknya.
“Terimalah khabar yang baik wahai keluarga Ammar, kerana tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah syurga” (Sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang disampaikan oleh Ustman Al-Affan. Dipetik dari Thabaqat Ibnu Sa’ad, 3/249; Majma’ Az-Zawaid, 9/293; Tarikhul Islam Adz-Zahaby, 3/572)

Firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah telah memberi dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka berperang kerana Allah, lalu mereka membunuh dan terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam kitab Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka, bergembiralah dengan jual beli yang telah kalian lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar”(At-Taubah: 111)

Sumayyah bintu Khubath Radiallahu Anha termasuk sejumlah wanita yang terawal menerima Islam dan bersegera memenuhi janji Allah serta membenarkan apa yang telah dijanjikan Allah kepada kaum Muslimin, sehingga beliau berhak mendapat khabar gembira sebagai orang yang dijanjikan syurga. Bagaimana pula dengan kita sebagai kaum muslimah akhir zaman? Semoga kisah ini menjadi obor penyuluh dan menyemarakkan lagi semangat kita dalam mendakwahkan agama Allah ini sehingga tiba janji Allah yang seterusnya, "akan berdiri semula kekhilafahan di atas manhaj kenabian" [HR Ahmad]

Ummu Sulaim binti Milhan

Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku masuk ke syurga lalu terdengar sebuah suara di hadapanku. Ternyata beliau ialah Al-Ghumaisha’ bintu Milhan”[HR Bukhari]

“ Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu kekal di dalam taman-taman dan sungai-sungai di tempat yang disenangi, di sisi Yang Maha Berkuasa” [Al-Qamar: 54-55]”

Bersama orang-orang Ansar

Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam pernah mendoakan orang-orang Ansar dengan doa baginda yang sangat istimewa;“ Ya Allah, rahmatilah orang-orang Ansar dan anak orang-orang Ansar serta cucu orang-orang Ansar” [HR Bukhari dan Muslim]

Srikandi tauladan kita kali ini ialah salah seorang wanita Ansar, yang termasuk di kalangan sahabiyah yang mulia dan paling utama. Beliau menghimpunkan ilmu, kebijaksanaan, keberanian, kemurahan hati, kesucian peribadi dan keikhlasan yang tulus semata-mata bagi Allah dan RasulNya.

Jiwa wanita yang bijaksana ini telah dipenuhi dengan iman sejak pertama kali beliau mendengarnya, lalu beliau menghadirkan fenomena tersendiri yang menyaksikan kecemerlangan, kemuliaan dan kebaikan dirinya sepanjang zaman. Sahabiyah terbaik ini juga ialah ibu kepada seorang sahabat yang terbaik, yang mendapatkan kedudukan khusus di sisi Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam, iaitu Anas bin Malik. Abu Nu’aim Al-Asybahany mengungkapkan jati diri wanita ini dengan berkata, “Ummu Sulaim adalah wanita yang tunduk kepada keputusan orang yang dicintainya, yang biasa membawa tombak di dalam peperangan!”

Di kesempatan ini, marilah kita susuri nasab sahabiyah yang mulia ini, yang biografinya harum semerbak, enak didengar dan menyenangkan hati. Beliaulah Ummu Sulaim bintu Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram An-Najariyah Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah. [Siyar Alamin-Nubala, 2/304]. Semoga mujahidah yang sabar, khusyuk, mulia, patuh beragama serta berkedudukan ini menjadi tauladan buat kita semua.

Keteguhan Iman Ummu Sulaim

Sejak hari pertama keIslamannya, Ummu Sulaim telah menyajikan keteguhan peribadi yang mengagumkan dan layak untuk diteladani. Ini menunjukkan barakah dan ketajaman akalnya, disamping iman, keikhlasan dan kebenarannya. Beliau telah memeluk Islam dan ikut berbaiat di saat suaminya ketika itu (Malik bin An-Nadhar, ayah kepada Anas bin Malik) berada di luar Madinah. Iman meresap ke dasar hatinya dan kekal terpateri di sana. Beliau mencintai Islam dengan kecintaan yang sangat mendalam, sehingga kerana itu beliau tetap teguh di hadapan suaminya yang masih musyrik. Kisah menarik ini merupakan kisah yang mengangkat martabat Ummu Sulaim dan menempatkan beliau setaraf dengan para muslimin di awal dakwah Islam di kalangan kaum Ansar. Ayuh kita ikuti kisah ini.

Sejurus selepas pengislaman Ummu Sulaim, suaminya kembali seraya memarahi beliau dengan berkata, “Apakah engkau telah murtad?”. Ummu Sulaim lantas menjawab dengan tegas,  “Aku tidak murtad, tetapi aku telah beriman dengan orang ini (Rasulullah)”. Tidak cukup dengan itu, beliau turut memimpin tangan anaknya, Anas dan mengisyaratkan Anas agar mengucapkan lafaz syahadatain. Anas akur. Malik, suami Ummu Sulaim semakin marah dengan tindakan isterinya sehingga beliau menengking dengan kasar, “Jangan kau rosakkan anakku!”. Tetapi dengan penuh kebijaksanaan Ummu Sulaim menjawab, “Sesungguhnya aku tidak merosakkannya, tetapi menunjukinya kepada kebenaran”. Dengan membawa kemarahan yang menggumpal, Malik bin An-Nadhar memulakan perjalanan ke Syam, tetapi dibunuh musuhnya di pertengahan perjalanan tersebut. Ketika berita kematian suaminya sampai ke pengetahuan Ummu Sulaim, beliau menerimanya dengan berlapang dada dan bertekad untuk memelihara Anas sebaik-baiknya. Beliau juga berjanji tidak akan berkahwin semula sehinggalah Anas membenarkannya berbuat demikian.

Sejak itu, perhatian beliau tertumpah kepada pendidikan anaknya. Beliau mengajarkan Anas tentang kecintaan kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam dan Islam. Setelah Baginda Rasul tiba di Madinah sebagai muhajir, Ummu Sulaim segera mendatangi baginda dengan membawa Anas yang ketika itu masih kanak-kanak dan belum mencapai usia baligh. Beliau berkata kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam:“Wahai Rasulullah, ini Unais (nama kecil Anas). Aku mendatangi engkau agar dia mengabdi kepada engkau. Maka berdoalah kepada Allah bagi dirinya” Maka, baginda bersabda, “Ya Allah, perbanyakkanlah harta dan anaknya” (Dala’ilun-Nubuwwah, 6/194-195).

Anas mendapat bimbingan dan pengasuhan di rumah Rasulullah yang kemudiannya menghantarkan beliau kepada kedudukan mulia sebagai salah seorang sahabat terkemuka.

Ummu Sulaim benar-benar mengotakan janji yang pernah diucapkan kepada anaknya. Beliau mendidik Anas dengan sebaik-baik didikan, sehingga Anas pernah berkata, “Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada ibuku kerana beliau telah mengasuhku dengan sangat baik” . 

Mahar Yang Paling Indah

Ummu Sulaim juga tidak menerima lamaran-lamaran yang datang kepadanya sehinggalah Anas berusia cukup dewasa. Beliau kemudiannya dilamar oleh Abu Talhah Al-Anshary yang ketika mengajukan lamaran tersebut masih seorang musyrik. Ummu Sulaim dituntut untuk mempertimbangkan lamaran lelaki tersebut kerana Abu Talhah merupakan seorang yang berpengaruh di dalam masyarakat. Ketika Abu Talhah menemui beliau buat kali kedua untuk tujuan yang sama, Ummu Sulaim menjawab lamaran tersebut dengan berkata “Wahai Abu Talhah, lelaki seperti engkau tidak layak untuk ditolak. Tetapi engkau seorang kafir, sementara aku wanita Muslimah dan tidak mungkin bagiku untuk menikahi engkau”

“ Apa yang perlu kulakukan untuk tujuan itu?” tanya Abu Talhah.

“Hendaklah engkau menemui Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam” Jawab Ummu Sulaim.

Abu Talhah segera beranjak untuk menemui Rasulullah yang ketika itu sedang duduk di tengah-tengah para sahabat. Ketika melihat kehadiran Abu Talhah, baginda Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Abu Talhah mendatangi kalian, dan tanda-tanda keislaman tampak di antara kedua matanya”. Abu Talhah memberitahu Rasulullah apa yang dikatakan Ummu Sulaim. Akhirnya, Abu Talhah memeluk Islam di hadapan baginda dan para sahabat. Beliau juga bersetuju menikahi Ummu Sulaim dengan mahar keIslamannya. Ummu Sulaim berkata kepada anaknya, “ Wahai Anas, bangkitlah dan nikahkanlah Abu Talhah”.

Tentang kisah pernikahan yang diberkati ini, Tsabit bin Aslam Al-Banany, salah seorang Tabi’in berkata, “Kami tidak pernah mendengarkan mahar yang lebih indah dari maharnya Ummu Sulaim, iaitu Islam!” (Shifatush Shafwah, 2/66; Siyar A’lamin-Nubala’, 2/29).

Firasat Ummu Sulaim terhadap Abu Talhah ternyata benar, sehingga beliau meraih kebahagiaan kerana kebaikan, keikhlasan dan kemuliaan suaminya. Abu Talhah juga berhak mengecap kebahagiaan kerana pernikahannya dengan seorang wanita Mukminah yang bertakwa, Ummu Sulaim, yang kerana beliaulah, Abu Talhah keluar dari kegelapan syirik ke cahaya tauhid, Islam dan jihad. Allah kemudiannya memuliakan suami isteri ini dengan kelahiran seorang anak lelaki yang diberi nama Abu Umair.

Ternyata Allah Subhanahu wa Taala berkehendak untuk menguji keluarga suci ini, yang sedari hari pertamanya lagi telah dibangun dengan ketakwaan. Di sinilah Ummu Sulaim tampil dengan gambaran istimewa lagi mengagumkan dari kisah-kisah sahabayiyah sezaman beliau. Beliau menghadirkan keutamaan sehingga tindakannya ini mekar sepanjang sejarah hingga Allah Subhanahu wa Taala mempusakakan dunia dan seisinya.

Suatu hari, Umair jatuh sakit dan meninggal dunia ketika Abu Thalhah pergi ke masjid. Ummu Sulaim menerima pemergian anak kecil itu dengan jiwa yang redha dan sabar seraya berucap,“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. Beliau membaringkan jasad anaknya di atas tempat tidurnya dan berkata kepada ahli keluarganya yang lain,”Jangan kalian sampaikan khabar ini kepada Abu Talhah berkenaan anaknya. Biar aku saja yang menyampaikan hal ini kepadanya”.

Sekembalinya dari masjid, Abu Talhah bertanyakan keadaan Umair, “Bagaimanakah keadaan anakku?”

“Dia lebih tenang dari keadaan sebelumnya” jawab Ummu Sulaim. Kemudian Ummu Sulaim menghidangkan makan malam kepada Abu Talhah dan menghiaskan dirinya secantik mungkin. Pada malam tersebut, mereka berjima’ dan setelah selesai, Ummu Sulaim mengkhabarkan kematian Umair kepada suaminya. Abu Talhah bersedih serta timbul kemarahan di hatinya. Beliau mendatangi Rasulullah dan menceritakan perlakuan isterinya. Mendengarkan kisah tersebut, Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di tengah umatku seorang wanita yang sabar seperti kesabaran wanita Bani Israel”. (As-Sirah Al-Halabiyah, 3/74)

Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bertanya kepada Abu Talhah, “Apakah semalam kalian telah berjima’?”“Ya”. Jawab Abu Talhah. Rasulullah mendoakan keberkahan bagi pasangan tersebut dan doa baginda Sallallahu Alaihi wa Sallam ini dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Taala,. Ummu Sulaim melahirkan anak lelaki yang diberi nama Abdullah hasil dari perhubungan tersebut. Diriwayatkan, Abdullah bin Abu Talhah termasuk orang-orang yang soleh. Tanda itu jelas terlihat di wajahnya. Abayah bin Rafi’ berkata, “ Aku melihat anak itu di kemudian hari mempunyai tujuh anak lelaki yang kesemuanya hafal Al-Quran” (Ath-thabaqat, 8/334; Sifathush-Shafwah, 2/69; Dala’ilun-Nubuwwah, 6/199)

Apakah Yang Engkau Miliki Wahai Ummu Sulaim?

Ummu Sulaim radhiallahu anha sentiasa memberikan hadiah dan makanan kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam. Allah Subhanahu wa Taala juga memuliakan beliau dan memberkati pemberiannya kepada baginda Rasul. Kisah ini dituturkan sendiri oleh Anas bin Malik ketika mengkhabarkan barakah dari kebiasaan ibunya itu. Ummu Sulaim pernah mengarahkan seorang pembantunya untuk menghantarkan makanan berupa daging kambing kepada RasulullahSallallahu Alaihi wa Sallam. Selesai menghantarkan pemberian tersebut, kantung kosong tersebut dikembalikan ke rumah Ummu Sulaim di saat beliau tiada di rumah. Sekembalinya ke rumah, Ummu Sulaim mendapati kantung tersebut masih penuh berisi. Lantas, beliau kembali kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam untuk meminta kepastian.

Ummu Sulaim berkata, ” Demi yang mengutusmu dengan kebenaran dan agama yang benar, kantung ini masih penuh berisikan makanan yang kuberikan padamu sedangkan engkau wahai Rasulullah telah menerimanya dari pembantuku”

Baginda lantas menjawab, ”Wahai Ummu Sulaim, apakah engkau hairan kerana Allah telah memberikan makanan kepadamu sebagaimana engkau telah memberikan makanan kepada RasulNya? Makanlah dan berikanlah makanan itu kepada yang lain”. Ummu Sulaim kembali ke rumahnya dan membahagikan makanan itu di dalam sebuah mangkuk besar untuk 2000 orang sehingga ia menjadi bekalan makanan untuk tempoh sebulan atau dua bulan! (Hayatus-Sahabah, 3/635)

Anas turut menceritakan bahawa ibunya sering mengirimkan talam yang berisi kurma segar kepada baginda Sallallahu Alaihi wa Sallam kerana mengetahui kesukaan Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam itu. Dalam kisah yang lain, Abu Talhah pernah memberitahu kepada Ummu Sulaim tentang keadaan Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam yang sedang menahan lapar yang teramat sangat dengan berkata, ” Aku mendengar suara Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam melemah. Aku melihat beliau merasa lapar. Maka, apakah engkau mempunyai sesuatu yang boleh diberikan kepada baginda?”. Ummu Sulaim segera mengeluarkan beberapa gumpalan adunan roti dari tepung gandum dan menyuruh anaknya, Anas untuk mengirimkannya kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi wa sallam yang sedang berada di masjid bersama dengan para sahabat. Oleh kerana ramainya para sahabat yang mengelilingi Rasulullah ketika itu, Anas merasa malu untuk menyampaikan pemberian yang sedikit itu. Menyedari kehadiran Anas, Rasulullah segera menyapanya dengan berkata, ” Adakah orang tuamu mengutusmu ke sini?”. Anas mengiyakan. Rasulullah segera bersabda kepada para sahabat untuk berangkat ke rumah Abu Talhah. Di saat itu, Abu Talhah mulai ragu kerana mereka tidak memiliki sesuatu apapun untuk dihidangkan kepada para tetamu yang ramai tetapi Ummu Sulaim mencelah, ”Percayalah, Allah dan RasulNya lebih mengetahui!”

” Wahai Ummu Sulaim! Apakah yang engkau miliki saat ini?” Tanya Rasulullah.

Ummu Sulaim membawakan beberapa gumpalan roti yang ingin diberikannya kepada Rasulullah sebelumnya. Baginda mendoakan barakah ke atas pemberian tersebut, maka mereka semua menikmati makanan tersebut sehingga kekenyangan, walhal bilangan para sahabat ketika itu mencecah 90 orang lelaki. Subhanallah! (Tarikhul Islam, Adz-Zahaby, 1/357; Dala’ilun-Nubuwwah,2/532; Wafa’-ul-wafa’, 3/881-882. Diriwayatkan oleh Muttafaq Alaih. Imam Malik turut meriwayatkannya di dalam Al-Muwaththa’).

Kedermawanan dan kemurahan hati Ummu Sulaim tidak berhenti setakat di situ sahaja. Ketika Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam menikahi Zainab binti Jahsy, beliaulah yang menyediakan jamuan walimatul urus tersebut dengan menghidangkan makanan kegemaran Rasulullah sendiri. Barakah dari pemberian tersebut juga (dengan izin Allah) dapat menampung bilangan para sahabat yang ramai menghadiri majlis tersebut.

Maha suci Allah di atas segala kebaikan dan keberkatan yang dikurniakan kepada hamba-hambaNya yang beriman!

Wanita Yang Memenuhi Hak dan Kebajikan

Ummu Sulaim radhiallahu anha termasuk di kalangan para sahabiyah utama yang bijaksana, memiliki pendapat yang lurus, kecerdikan dan firasat yang tinggi disamping berada pada akhlak-akhlak yang mulia serta menghimpun beberapa sifat yang baik dan suci. Lantaran keperibadiannya inilah, beliau sering mengajukan persoalan-persoalan berkaitan agama kepada Rasulullah.

Tentang sikap beliau ini,  Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu anha pernah berkata, ” Sebaik-baik wanita ialah wanita-wanita Ansar. Mereka tidak merasakan malu untuk bertanya tentang masalah-masalah agama dan untuk memahaminya” (Ath-Thabaqat, 8/421).

Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam juga sering mengajarkan pelbagai masalah agama dan ibadah kepada beliau. Di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Anas bin Malik, ”Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam mengunjungi Ummu Sulaim lalu mendirikan solat tathawu’ di rumah beliau, lalu beliau bersabda, ”Wahai Ummu Sulaim, jika engkau sudah selesai mendirikan solat wajib, maka ucapkanlah subhanallah sepuluh kali, alhamdulillah sepuluh kali dan Allahu Akbar sepuluh kali, kemudian mohonlah kepada Allah menurut apapun kehendakmu, kerana dengan demikian akan dikatakan kepadamu, ’Ya, ya,ya!’”

Dengan akhlak dan kecintaan beliau kepada Allah dan RasulNya jualah yang menghantarkan beliau kepada kedudukan yang tinggi di sisi baginda Rasul, sehingga baginda sering mengajarkan dan memberikan pengarahan secara halus dalam pelaksanaan ibadah beliau. Ibnu Sa’d menyebutkan bahawa Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya, ”Mengapa Ummu Sulaim tidak menunaikan haji bersama kami pada tahun ini?”

Ummu Sulaim menjawab, ”Wahai Nabi Allah, suamiku hanya memiliki dua ekor unta. Yang satu digunakannya untuk menunaikan haji dan satunya lagi dia tinggalkan untuk mengairi kebun kurmanya”

Maka baginda bersabda,” Jika tiba bulan Ramadhan, maka kerjakanlah umrah, kerana umrah pada bulan tersebut setara dengan haji di bulan Zulhijjah”. Dalam hadith lain, beliau bersabda,”Umrah pada bulan Ramadhan itu akan menggantikan hajimu bersamaku”.

Keberanian dan Jihadnya

Kita telah mengenali tokoh wanita kali ini sebagai seorang wanita yang terpandang, mulia dan terhormat, termasuk golongan wanita yang terawal menerima Islam. Kita juga telah mengenalinya sebagai isteri yang solehah, ibu yang penuh kasih sayang, ahli ibadah yang taat, dermawan dan murah hati. Lalu, bagaimana pula dengan jihadnya?

Tidak dapat diragukan bahawa beliau sering terlibat dalam pelbagai peristiwa penting, malah menyertai sejumlah wanita lain yang ikut berjihad bersama Rasulullah. Ath-Thabrany mentakhrij dari Ummu Sulaim radhiallahu anha, beliau berkata, ”Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam berperang yang disertai beberapa wanita dari kalangan Ansar, lalu kami memberikan minum orang-orang yang sakit dan mengubati orang-orang yang terluka”

Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik ra, beliau berkata, "Rasulullah Sallallahu alaihi wa Sallam pernah berperang bersama Ummu Sulaim serta beberapa wanita lain di kalangan Ansar, yang bertugas memberikan minuman dan mengubati orang-orang yang terluka.” (Ditakhrij Muslim)

Al Imam Adz-Zahaby Rahimahullah menyebutkan bahawa Ummu Sulaim radhiallahu anha ikut bersama di dalam Perang Hunain dan Uhud, dan dia termasuk wanita yang utama. (Siyar A’lamin-Nubala’, 2/304).

Muhammad bin Sirin, seorang tabi’in mulia pernah menyebutkan bahawa Ummu Sulaim menyertai RasulullahSallallahu Alaihi wa Sallam di Perang Uhud padahal ketika itu beliau sedang mengandungkan anaknya, Abdullah bin Abu Thalhah. Beliau membawa bersamanya sebuah tombak pendek yang diselitkan di pinggangnya. Abu Thalhah menemui Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam untuk mengkhabarkan tindakan isteri beliau. Hasilnya, RasulullahSallallahu Alaihi wa Sallam tersenyum mendengarkan tingkah sahabiyyah terdekat tersebut. Baginda lantas bertanya kepada Ummu Sulaim tentang kegunaan tombak pendek itu dan dijawab dengan berani oleh beliau, ”Jika ada salah seorang antara orang-orang Musyrik mendekatiku, maka aku akan menikamnya dengan tanganku sendiri!”

Inilah dia salah seorang sahabiyyah yang mendapat kemuliaan jihad di sisi barisan kaum Muslimin. Semoga AllahSubhanahu wa Taala mengurniakan balasan setimpal buat beliau.

Kerana Aku Sangat Menyayanginya!   

Di antara bukti yang menunjukkan bahawa Ummu Sulaim memiliki kedudukan yang khusus dan istimewa di sisi Rasulullah boleh dinilai dari pertuturan Anas bin Malik, ”Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam tidak biasa memasuki rumah lain selain rumah Ummu Sulaim.Ketika hal ini ditanyakan kepada Baginda Rasul, Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ’Kerana aku sangat menyayanginya, saudaranya terbunuh ketika bersama aku” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim).

Saudaranya yang dimaksudkan di sini ialah Haram bin Milhan, yang turut sama berjihad di medan Badar, Uhud, lalu gugur syahid fi sabilillah dalam Perang Bi’r Ma’unah pada tahun keempat setelah hijrah. Beliaulah yang mengucapkan kata-kata terkenal ”Demi Rabb Kaabah! Aku telah meraih keberuntungan yang besar” sejurus selepas beliau ditikam musuh dari arah belakang sehingga hujung tombak menembusi dadanya dan mata tombak terlihat dari arah hadapan tubuhnya. Semoga Allah redha kepadaNya seperti redhanya beliau kepada Tuhannya. (Siyar A’lamin-Nubala’, 2/307; Al-Ibtishar, hal. 36).

Rasulullah sangat sering mengunjungi Ummu Sulaim di rumah beliau, memberikan sesuatu dan mendoakan keluarga tersebut. Anas meriwayatkan hal ini dengan berkata,” Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam datang ke rumah kami, sementara yang ada di rumah hanya aku, ibuku, dan ibu saudaraku, lalu beliau bersabda, ’Bangunlah kalian, kerana aku akan solat bersama kalian. Para wanita solat di sebelah kanan baginda. Selesai solat, baginda mendoakan segala kebaikan dunia dan akhirat bagi kami” (Al-Ibtishar, hal. 39-40).

Anas juga pernah menuturkan, ”Jika Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam lalu tidak jauh dari tempat Ummu Sulaim, maka baginda akan menemuinya dan mengucapkan salam kepadanya”(Diriwayakan oleh Al-Bukhari, Muslim dan Nasaei)

Maka, cukuplah kebanggaan dan kemuliaan bagi Ummu Sulaim kerana Rasulullah sendiri telah mengkhususkan kunjungan, salam, doa dan solat di rumahnya.

Nisa’ Mubasysyarat Bil Jannah!

Sahabiyah Ummu Sulaim radhiallahu anha adalah salah seorang wanita utama yang meninggalkan jejak yang abadi di dalam sejarah Islam. Al Imam An-Nawawy Rahimahullah berkata tentang dirinya,” Dia termasuk wanita-wanita yang utama” (Tahdzibul-Asma’, 2/363).

Beliau seorang isteri yang solehah, daie yang bijaksana dan pendidik yang utama dengan cara menyerahkan anaknya ke madrasah Nubuwwah untuk menceduk ilmu dan hikmah langsung dari sumbernya sehingga anak beliau meraih gelar dan darjat yang tinggi di sisi Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam.

Di samping itu, Ummu Sulaim radhiallahu anha juga seorang penghafal hadis Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam.Beliau meriwayatkan empat belas hadis dari baginda, dua hadis Muttafaq Alaihi, satu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan dua hadis diriwayatkan oleh Muslim.

Ummu Sulaim radhiallahu anha juga mendapatkan khabar gembira sebagai salah seorang nisa’ mubasysyarat bil jannah (wanita yang dijamin syurga). Khabar ini disampaikan melalui Anas bin Malik radhiallahu anhu yang menuturkan dari sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam, ”Aku masuk syurga lalu aku terdengar sebuah suara di hadapanku. Ternyata aku sedang berhadapan dengan Al-Ghumaisya’ bintu Milhan” [HR Bukhari]

Al-Ghumaisya’ dalam hadis di atas ialah Ummu Sulaim radiallahu anha. Sesungguhnya keberuntungan yang besar bagi diri sahabiyah utama ini atas keredhaan Allah dan kecintaan Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam terhadapnya.   

Wallahu 'alam